Daftar Blog Saya

Kamis, 02 September 2010

Saya Tidak Melacur

Saya Tidak Melacur

Jarum-jarum jam ini berkata “Sudah jam sebelas malam! Anak sekolah kok belum pulang toh, ya?”

Sebut saja namaku Elin, umurku 16 tahun. Ya, malam ini aku melayani pria lagi, lagi dan lagi. Pekerjaan yang kulakukan sejak dua tahun lalu.

Aku merasa malu harus berteman dengan wanita-wanita yang menikmati masa remaja dengan kesucian mereka, tanpa harus hidup keras di tengah malam sebagai kupu-kupu malam. Harus berbohong kepada mereka yang tidak tahu apapun tentang diriku. Aku begitu hina dan terpaksa dalam dunia ini. Oh Tuhan, luruskan langkahku. Ini bukan keinginanku. Mudah untuk berpikir kalau aku berhenti menjadi wanita murah dan mencari pekerjaan lain. Namun tak semudah itu. Haram, ya, aku tahu itu. Aku telah diasuh dan diajari banyak hal oleh pengasuhku, yang menjualku. Terdengar bodoh. Tapi inilah hidup.

Aku ingat saat itu, malam yang lembab seperti tercekat di planet luar. Pasti akan turun hujan. Aku berjalan pulang, dari rumah kawanku. Aku hanya tinggal dengan kakak sepupuku, Galih. Ia bekerja untuk kehidupan kami. Ayah seorang pemabuk, hanya itu yang ku tahu, lalu ia pergi entah kemana. Ibuku sudah meninggal saat aku TK, depresi berat karena ayah menjadi tukang mabuk.

Aku takut pulang ke rumah, aku takut jantungku berdebar dan perasaanku menjadi tidak karuan melihat Kak Galih. Satu-satunya perasaan terbodoh, aku menyukainya. Ah, tidak! Tapi, iya. Aku berusaha hilangkan rasa itu. Semakin aku melihatnya, semakin cepat jantungku memompa darah ke seluruh tubuh. Karena itu, setiap pulang sekolah, aku tidak mau cepat sampai di rumah.

Langkahku begitu lambat namun rumah sudah di depan mata. Dug dug dug. Aku bisa merasakan getarannya.

Ada sandal lain di depan pintu, siapa ya? Aku mendekat.

“Kamu mau kan!???” Suara wanita tersedu-sedu.

“Iya! Tapi saya butuh waktu! Kamu tahu, kan!? Saya tuh nggak punya siapa-siapa lagi! Cuma ada Elin! Saya harus kasih makan dia! Bayar sekolahnya! Semua kebutuhannya harus saya penuhin! Hhhhhhhhhh.” Kak Galih mengela napas setelah marah-marah.

Aku bingung, ada apa ini?

“Aku nggak bisa nunggu kelamaan!” Wanita itu semakin sesak.

“Kamu gugurin aja, deh tuh kandungan! Saya pusing!”

“Kamu gilaaaaaaaaaaaaaa!!!”

Sakit, sakit sekali dada ini. Aku menahan tangis. Cukup sajalah kurasa. Tak ada daya untuk bertahan. Aku membalikkan tubuh dan berjalan tanpa tujuan.

Benar. Hujan. Dingin, Tuhan.

“Hei, kamu. Masuk saja ke mobilku. Hujannya deras sekali.” Pinta seorang wanita yang berhenti ke tepi jalan dan menghampiriku. Umurnya kira-kira 40-an.

Tidak punya pilihan, aku putuskan untuk mengiyakan tawarannya. Aku masuk dengan menggigil.

Mobil sedan mewah ini melaju dengan santai. Hening.

“Panggil aku, Tante Rena. Kamu mau kemana?” Ia membuka pembicaraan.

“Nggak tau.” Aku menerawang.

“Tinggal di tempatku saja, ya?” Tawarnya lagi.

Aku berpikir sejenak, “nggak ngerepotin?”

“Asal kamu mau kerja, nggak masalah.” Senyumnya dermawan.

Aku mengangguk.

Pelajaran yang sangat terlambat untukku, jangan mudah terperangkap terhadap sesuatu, karena dunia ini masih kejam. Aku begitu pilu melihat tempat ini. Aku memantapkan hati, aku sanggup melewati pekerjaan di taman pelacur.

Selama ini Tante Rena memenuhi apa yang aku inginkan sehingga aku masih bisa bersekolah sampai saat ini.

Hidup seperti tiada makna. Aku hanya diam dan bisu menatap masa-masa puber. Membanding-bandingkan hidup satu orang dengan orang yang lainnya. Aku tidak sendiri di sini, aku mempunyai teman yang satu profesi denganku. Karena aku bukan wanita yang di bawa pria belang untuk di sewa semalaman, jadi aku masih banyak kesempatan untuk menjauh dari penyakit mengerikan yang diderita kawananku.

Aku ingin kabur, tapi di mana-mana ada yang mengawasiku, sudah empat kali aku mecoba kabur selama ini, tapi tetap saja aku tertangkap dan dijaga rapat-rapat. Aku memiliki banyak pelanggan, bukan ingin sombong, karena parasku masih muda dan menarik banyak perhatian. Dari diriku lah sang pengasuh wanita malam mendapat banyak pesanan dan uang yang melimpah. Aku ingin sekali para lelaki itu musnah!

Sempat waktu aku akan terasa konyol untuk bertahan menjadi wanita haram. Sebenarnya hati ini tertekan.
Ya, para pria kaya itu membayarku mahal sekali. Aku selalu mengumpat dalam hati, memaki perilaku mereka. Marah yang membuncah seakan membuatku ingin berlari mencari pisau, pistol atau pedang untuk membunuh mereka, kemana istri-istri mereka? Seperti inilah, aku harus tersenyum dengan dosa kemunafikanku. Maafkan aku ya Tuhan.

Aku pernah berkata sendiri “Ah, toh yang akan masuk neraka bukan aku saja. Yang jadi wanita jalang kan banyak!”. Semoga aku tak berdosa berkata seperti itu. Ada rasa takut, ada rasa biasa saja.

Dengan mengalihkan pembicaraan teman-teman sekolahku, setidaknya aku dapat keluar dari makian secara tidak langsung. Memalukan! Elin oh Elin, seharusnya kau tak berdusta. Aku mendarat dengan penuh rasa bingung. Minder, biasa orang menyebutnya. Jelas aku minder.

Tak sedikitpun niat untuk berputus asa menjalani batu yang panas ini. Aku ingin seseorang menuntunku, lelaki yang baik hati, beriman, jujur dan menerima aku bagaimana adanya.

Aku membuka pintu mobil mewah ini, menjejakkan kaki kiri di aspal, mendongak melihat malam dan keluar dengan kaki kanan. Melambai kepada yang di dalamnya, tak lupa Ia berkata “Besok lagi, ya? Nanti Om kasih uang yang lebih tebel! Oke?”.

Aku hanya mengulas sedikit senyum manis sampai mobil itu melaju. Aku berkata dalam hati “Hah dasar om-om murahan!”

Uang telah menjadi pengukur tingginya hidup dan seberapa mampu Ia terlihat begitu hebat di hadapan orang banyak. Tetapi itu bukan motto hidupku, walau aku mampu dari uang ini, aku merasa tiada yang hebat dari apa yang aku hasilkan. Ini realita.

Bukan faktor ekonomi, tapi faktor balas budi yang seharusnya tidak aku lakukan. Maaf-maaf saja, aku dilacurkan, bukan melacur. Mau tidak mau, suka tidak suka, ya harus menjalani peran ini. Hidup datar tanpa alur.

Aku menatap tempat gemerlap, penuh wanita dengan dress seksi, rambut terurai nan indah, kecantikan menawan. Mereka sama sepertiku, hanya beda pada prinsip hidup saja. Aku habis karena hidup, sedangkan mereka hidup karena habis.

Dulu, sekarang ataupun nanti, kehidupan malam mungkin takkan usai. Perubahan zaman saja yang membedakan, semahal-mahalnya, tetap murahan. Tapi aku bukan wanita malam era 60-an, yang memberikan layanan ciuman, sekali cium, dapat Rp. 10 atau Rp. 5.000 untuk melacur di bawah pohon taman Monas di era 80an.

Ya Tuhan, aku tidak menyesal walau kau ciptakan aku seperti ini. Hanya saja, aku berharap ini cepat berakhir.

Wanita akan selalu menjadi bunga kehidupan, siang maupun malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar