Meninggalkan Ibu untuk Ibu
Kulihat sosok renta itu dari balik jendela kamarku yang berembun. Ia duduk tenang di kursi goyangnya. Mengayomi cucu kecilnya dengan hangat akan kasih sayangnya. Jika saja akulah yang dipangkunya. Merasakan belaian lembut dari sentuhannya. Sungguh rasa cinta yang tak pernah kusut.
Musim hujan telah berangsur selama dua minggu ini. Membuat lantai dan dinding kamarku sejuk menyusup dengan perlahan. Memandangi keadaan sekitar dari balik jendela kamarku yang berembun adalah kebiasaanku sejak hujan sering turun. Kuperhatikan semuanya. Dari gadis kecil yang di tangan kanannya bergoyangkan payung, bocah-bocah bahagia yang bermain dengan hujan sampai tatapanku terpusat kembali pada sosok renta itu. Dialah seorang ibu dari sahabatku, Fahmi. Pemuda sederhana yang selalu berusaha membalikan atas kasih sayang ibunya.
Aku hanya hidup berdua bersama ayahku. Di bawah atap kayu dan gentingnya yang meralah aku besar. Tanpa ibu yang telah melahirkanku. Bidadari yang aku harapkan, kini hanya menyaksikanku dari atas sana. Tak pernah kupandangi wajahnya. Tak pernah pula kusentuh kulitnya. Kurasa ia hanya mengucapkan selamat tinggal padaku saat aku menangis dalam usiaku yang baru lahir. Ibuku tinggal ampas-ampas memori yang membelenggu anaknya sendiri, aku.
Nama Fadila Nur Hanifa, ia berikan padaku lewat catatan kecil yang dititipkan pada ayah sebelum aku lahir. Padahal ingin sekali aku bersamanya. Seperti sosok renta itu dan cucunya. Sungguh hanya impian yang mustahil jika ibu kembali padaku pada kenyataan. Hanya di dunia maya saja aku dipangkunya. Biarkanlah itu menjadi cerita batin yang terkenang. Dalam kenangan yang haus akan kasih sayangnya.
Ayah memang tak terlalu buruk untukku. Sifatnya yang selalu merasa benar berada di balik sikapnya yang santai. Aku tak mau terlalu banyak bicara dengannya. Karena apapun yang kubicarakan bisa menjadi hal yang panjang. Entah berakhir baik ataupun tidak. Kurasa ayah terlalu tua untuk mempekerjakan dirinya.
“Bagaimana kalau Hanif saja yang mencari uang, Yah?” aku membuka pembicaraan saat makan malam.
“Kau terlalu lemah untuk bekerja. Membersihkan rumah saja sudah sering terlihat lelah, apalagi kalau kau juga bekerja di luar? Serahkan saja pekerjaan untuk mencari nafkah itu pada Ayah. Ayah rasa kau tak sanggup kalau harus mencari uang.” Jawab ayah.
“Apa Ayah juga sanggup? Lihatlah kondisi Ayah.” Aku menaikkan kedua alisku di balik poniku yang terurai ke depan sampai kelopak mata.
“Bicara apa kau!? Kau mau bilang Ayah sudah tua!? Ayah sudah renta!? Yang seharusnya duduk santai di rumah!?” suara ayah seperti petir yang menyambarku.
“Maaf, Yah? Aku… emmm.. Hanif tidak bermaksud seperti itu. Hanif ingin membantu Ayah mencari uang.” Aku menunduk. Sempat merasa bersalah juga karena aku tak menyebutkan nama. Aku selalu diajarkan untuk tidak memakai ‘aku’ saat berbicara dengan orang yang lebih tua. Dan merasa bersalah juga karena aku membicarakan diriku dengan melontarkan permintaan untuk bekerja. Penyesalan selalu datang terakhir. Tak ingin aku mengandai-andai untuk mengulang waktu walau hanya beberapa menit saja.
“Lanjutkan makanmu. Ayah ingin istirahat.” Ayah mencoba menenangkan diri.
“Baik, Yah.” Aku melunak.
Hanya pada Fahmi, aku menuangkan isi hatiku. Sungguh dia seorang pemuda yang dewasa dan baik hati. Fahmi juga humoris. Penampilannya tak macam-macam. Sangat sederhana dan selalu terlihat tenang. Sikapnya yang selalu ramah dan menghormati orang lain membuatnya dicintai oleh banyak wanita.
“Aku ingin bekerja membantu ayah, tapi aku tidak diizinkan. Aku meminta menggantikan posisinya sebagai pencari nafkah, tapi ayah memarahiku. Aku dibilang menganggap ayah terlalu tua yang pantasnya hanya duduk di rumah. Padahal bukan itu maksudku. Aku ingin menangis. Sungguh aku tidak tega melihat ayah bekerja mencari uang setiap hari. Pagi sampai sore ayah mempekerjakan dirinya. Sedangkan aku hanya di rumah dan mengerjakan pekerjaan rumah selayaknya ibu rumah tangga.” Aku bercerita kejadian tadi pada Fahmi.
“Bukankah kau kuliah?” Tanya Fahmi.
“Aku memang kuliah. Tapi sudah satu minggu aku libur. Libur panjang selama tiga bulan. Ya, kadang-kadang aku ke kampus untuk latihan. Tapi aku lebih banyak di rumah. Aku ingin sekali mencari pekerjaan. Walaupun hanya bekerja kecil-kecilan, setidaknya beban ayah tidak teralu berat.” Aku memejamkan mata. Membukanya lagi dan memandangi bintang. Di bawah pohon rindang yang airnya menetes dari daunnya yang basah terkena hujan, aku mencurahkan perasaanku.
“Ayah mu seperti itu juga pasti ada alasannya. Berpikir baiknya saja. Mungkin ayah merasa kau belum pantas untuk bekerja. Apalagi kau perempuan. Kalau ada apa-apa sepulang bekerja, bagaimana?”
“Bagaimana apanya? Kau yang bagaimana!? Aku disuruh berpikir baik, kau sendiri malah berpikir yang tidak-tidak. Ohya, ibu mu sedang apa?”
“Ya sudah, pasti ada saatnya kau diizinkan untuk bekerja oleh ayah mu. Ada apa kau tiba-tiba bertanya tentang ibu ku?”
“Tidak ada apa-apa. Aku hanya kagum padanya. Sering sekali aku memeperhatikannya dari jendela kamarku saat ibumu memanjakan keponakan mu.”
“Sebenarnya bayi itu bukan keponakan ku. Bayi itu ditemukan saat ibu ku berbelanja di pasar. Bayi yang terlalu kecil untuk ditelantarkan, kasihan juga melihatnya. Makanya ibu membawa bayi itu dan menganggapnya sebagai cucu. Kalau bayi itu cucunya, berarti bayi itu adalah keponakan ku. Jahat sekali ibunya! Malaikat kecil yang tidak berdosa itu dibuang begitu saja.” Jelas Fahmi.
“Senang sekali, ya sepertinya bayi itu? Dibesarkan dengan wanita sebaik ibu mu. Hmmmm… sayangnya ibu ku sudah tidak ada. Pasti saat hari ibu nanti akan kuberikan hadiah terindah untuknya.”
“Oh, ya! Sebentar lagi hari ibu, ya? Hadiah apa, ya yang akan kuberikan untuk ibu?”
“Senang sekali kau, ya?”
“Jangan pernah menyesali atas apa yang sudah ditakdirkan.” Fahmi menatapku lekat.
“Besok ingin kutemui ibu mu. Akan kukatakan padanya kalau aku ingin menjadikannya seperti ibu ku sendiri.” Aku tersenyum lebar.
“Sebegitu bangganya kau dengan ibu ku?” Tanya Fahmi.
“Ya!” wajahku berbinar. Pembicaraanku dengan Fahmi berhenti sejenak.
Apakah karena harapanku terlalu jauh untuk bertemu dengan ibu, aku sampai menjadikan ibu dari sahabat ku sebagai ibu ku yang telah tiada? Kurasa aku sakit jiwa.
“Hanif, aku punya satu cerita lucu. Aku dapat cerita ini dari ayah ku sebelum ia meninggal. Simak baik-baik, ya ceritaku?” tawar Fahmi.
“Baiklah.”
“Ada sebuah kapal laut yang meledak saat pelayarannya. Semuanya meninggal. Sisa tiga orang yang selamat dalam kecelakaan itu, satu orang dari Jepang, satu orang dari Perancis dan satu orang lagi dari Indonesia. Mereka terapung dan berpegangan pada sebuah kayu panjang. Tiba-tiba ada jin datang pada mereka. Ia memberikan satu permintaan pada setiap orang. Giliran pertama untuk orang Jepang. Orang Jepang meminta permohonan untuk dikembalikan ke negaranya. Permohonan dikabulkan. Ting! Orang Jepang menghilang. Giliran kedua untuk orang Perancis. Permintaan yang sama seperti orang Jepang, kembali ke negaranya. Ting! Orang Perancis hilang. Giliran terakhir untuk orang Indonesia. Hanif, kau tau apa permintaan orang Indonesia kepada jin itu?”
“Tidak tahu. Apa?”
“Orang Indonesia meminta kepada jin itu untuk mengembalikan dua orang temannya tadi! Karena dia merasa kesepian berada sendiri di tengah laut! Ting! Dua temannya kembali dan permintaan telah habis.”
“Hahahahahaha!! Bodoh sekali!!” aku terbahak-bahak.
“Aku senang melihatmu tertawa.” Senyumnya dermawan sekali.
“Terima kasih.”
“Fahmi.” panggilannya terdengar lembut. Suara ibunya Fahmi.
“Ya, Bu.” Jawab Fahmi dan menghampiri ibunya.
“Sudah malam. Lekaslah kau tidur.”
“Baik, Bu.”
“Ibu!” Panggilku pada ibunya Fahmi.
“Ya, Hanif?” Jawabnya. Ya Tuhan, lembut sekali suaranya.
“Bolehkah Hanif menjadikan Ibu sebagai ibu Hanif?” permintaan yang terdengar konyol itu tetap terlontar dari mulutku.
“Maksudmu?”
“Ibu Hanif sudah tidak ada lagi. Hanif merasa kurang kasih sayang kalau Hanif hanya tinggal dengan ayah. Maksud Hanif, bukan Hanif meminta Ibu untuk menikah dengan ayah. Hanif juga ingin diayomi oleh Ibu. Seperti Ibu mengayomi bayi itu. Hanif melihat Ibu sangat hangat pada bayi itu.” Jelasku.
Pelukan hangat itu mendarat di tubuhku. Terasa aliran darahku mencair disuasana malam dingin ini. Di bawah bintang-bintang. Disaksikan bulan. Aku menangis haru. Ibu yang sebenarnya bukan ibuku telah menenggelamkanku dalam kisah hidupnya. Indah sekali malam ini.
Gerimis. Aku pulang dan menuju kamar. Sebentar lagi hari ibu. Aku ingin memberikan hadiah pada ibunya Fahmi. Bukan ibunya Fahmi lagi, tapi ibuku. Seperti apa yang sering kulakukan. Melihat keadaan dari balik jendela. Fahmi yang rambutnya dibelai lembut oleh ibu terlihat sangat bahagia. Kasih sayang yang terlihat sepele itu berarti besar untuk lembaran di setiap hari-hariku.
Matahari yang berjalan pun tergelincir dipaginya. Embun yang menetes di pohon dari daun ke daun sampai ke tanah, terpandang damai dari sudut penglihatanku. Ingin sekali kuberitahukan hal semalam pada ayah saat sarapan pagi sepuluh menit agi. Aku hanya takut ayah marah. Kurasa lebih baik ayah tidak tahu tentang permintaanku pada ibunya Fahmi.
Sarapan pagi seperti keadaan di tengah hutan. Tinggallah sunyi yang menyelimuti aku dan ayah. Benar-benar tidak seperti apa yang kuharapkan.
Saat ayah pergi bekerja. Aku juga membeli hadiah untuk ibu. Akan kuberikan hadiah itu saat hari ibu nanti. Tepatnya dua hari lagi. Awalnya aku mengajak Fahmi, tapi ia tidak bisa. Ia membeli hadiahnya besok saja. Terpaksa aku harus pergi sendiri. Bingung sekali apa yang harus kubeli. Lalu aku memutuskan untuk membeli lentera kecil. Lentera yang kubeli terlihat sederhana. Warna coklatnya yang soft membungkus lampu kuning di dalamnya.
Aku simpan hadiah itu di kamarku. Esoknya ayah melihat hadiah itu di kamarku.
“Hadiah untuk siapa itu?” Tanya ayah.
“Untuk ibunya Fahmi.” Jawabku gugup.
“Ulang tahun?”
“Bukan. Tapi hari ibu.”
“Hadiah hari ibu yang kau berikan bukan untuk ibumu?”
“Ibunya Fahmi sudah Hanif anggap seperti ibu Hanif sendiri. Ia begitu hangat dengan kasih sayangnya.”
Plak! Tamparan ayah melukai hatiku.
“Kau anggap ibu yang melahirkanmu itu apa!!?” amarah ayah membuncah.
Aku lari ke kamar. Aku menangis. Salahkah aku yang selalu membuat ayah marah?
“Ibu… maaf. Bukan Hanif menanggap Ibu sebagai angin. Tapi Hanif hanya ingin mendapat kasih sayang.” Aku menangis. Ayah pergi bekerja. Aku mengurung diri sampai hari ibu tiba.
Saat hari ibu, ayah tidak berangkat kerja karena libur. Aku ingin keluar kamar. Tapi kalau ayah melihatku pergi ke rumah Fahmi, pasti aku dimarahi lagi. Kalau aku tidak ke rumah Fahmi, hadiah untuk ibu, bagaimana? Akhirnya aku nekat keluar kamar lewat jendela kamarku. Di bawah rintik hujan aku berlari menyeberangi jalan. Tanpa melihat kanan kiri. Dan…
Aku membuka mata. Aduh! Sakit sekali kepalaku. Aku tertabrak motor. Ayah sama sekali tidak mendengar kecelakaan kecil yang menimpaku. Karena tidurnya yang terlalu lelap. Aku berada di rumah Fahmi. Tepat kepalaku di pangkuan ibu. Tangannya mengelus rambut dan wajahku. Aku baru teringat, hadiahnya!?
“Hadiahnya!?” aku terbangun dan merasa pusing tak seimbang.
“Oh, hadiah yang kau bawa itu?” Tanya ibunya Fahmi.
“Iya itu hadiah untuk ibu.”
Ibu keluar kamar dan kembali dengan hadiahnya.
“Ini hadiah untuk Ibu. Hari ini hari ibu.”
“Hanif, terima kasih.” Ibu mencium keningku.
Tok. Tok. Tok. Suara pintu diketuk terdengar samar di telingaku. Ibu bangkit dari duduknya.
“Ada Hanif?” Aku mendengar suara ayah.
Tubuhku terasa mati rasa. Nafasku semakin tak tertur. Pandanganku kabur. Sekilas aku terbayang ibuku menghampiriku lewat jendela kamar. Aku merinding. Tapi di sudut kamar, aku juga melihat makhluk besar. Dengan tenang aku tersenyum. Kudengar suara pintu kamar yang terbuka.
“Hanif?” Panggil ibunya Fahmi. Lalu ia menggenggam tanganku.
Makhluk besar itu tepat didekatku. Aku terpejam. Ibuku membawaku meninggalkan jasadku. Ibuku nyata!
“Selamat hari ibu.” Kataku pada ibuku.
Kulihat ayah memeluk jasadku. Aku hanya menyaksikan dari kejauhan. Seharusnya aku memeluk ibunya Fahmi sebelum aku pergi. Tapi aku telanjur meninggalkannya untuk ibuku.
Desember 2008
zidnie ilma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar