Daftar Blog Saya

Jumat, 20 Juli 2012

Bhineka “Anak Gaul” dan “Anak Alay” Tunggal Ika

Dilihat dari berbagai sisi, suku dan budaya, negara kita memang banyak macam sifat dan tingkah laku. Apalagi yang sedang marak adalah “Anak Gaul” dan “Anak Alay”. Beberapa tahun terakhir ini, julukan-julukan tersebut sudah tidak asing lagi didengar. Pujian dan sindiran dengan sebutan seperti itu tentu membuat kesenjangan pada masing-masing individu.
Cap “Anak Gaul” dan “Anak Alay” akan diberikan kepada seseorang yang usianya masih terbilang labil, antara usia murid SMP sampai jenjang perkuliahan. Kenapa? Pada usia tersebut seorang remaja dan dewasa masih dalam tahap mencari jati dirinya. Mengikuti perkembangan zaman, mulai dari gadget, social network, pergaulan serta tempat-tempat yang mereka anggap menyenangkan untuk berbaur dengan lingkungan dan kawanannya.
Sebutan “Anak Gaul” biasanya berada pada seseorang yang mengetahui tentang gadget trendy, selalu update tentang tempat-tempat nongkrong, memakai IPhone, BlackBerry atau Android, memasang behel di giginya, menggunakan busana mentereng, berkendaraan pribadi seperti mobil mewah beserta supir, tiap liburannya ke luar negeri, berkulit bening atau coklat eksotis, ya pokoknya yang terlihat selayaknya orang kaya. Biasanya akan menampilkan display picture di BlackBerry Messenger, avatar twitter, profile picture facebook, Yahoo!, MSN maupun skype bersama “Anak Gaul” lainnya, misalnya seperti sedang di diskotik, tempat nongkrong di 7eleven, Circle K dan caffe kece lainnya, berpose dengan wajah eksotis yang sedang marak di lingkungan sepermainannya, menggunakan sunglasses di pantai Bali, Lombok atau bahkan di luar negeri, ada pula yang berfoto ria di dalam mobil, di luar mobil, di mana pun yang kira-kira jauh dari kediamannya dan tak sering orang mengunjunginya, tentu pula di tempat yang seringkali hanya orang berkecukupan yang dapat menjangkaunya. Kemudian mereka update personal message, status facebook dan nge-tweet dengan sangat sederhana tanpa tambahan emote. Atau bahkan tidak update apapun supaya tidak dibilang sombong atau “Anak Alay” yang selalu update di sembarang tempat. Kelihatannya memang lebih jaim.
Dan sebaliknya, “Anak Alay” berkesan untuk orang yang jauh dari pengetahuan gadget, tempat nongkrong ataupun kendaraan pribadi. Mereka biasanya menggunakan handphone sederhana, pokoknya yang penting dapat berkomunikasi via sms, telepon dan facebook-an tanpa ada embel-embel via Blackberry SmartPhone, Android apalagi Apple. Cukup dengan via 0.facebook.com pun mereka dapat meng-update kegiatannya di setiap jam. Dengan username facebook atau twitter yang panjang dan tidak terbaca beserta kata-kata imutnya, mereka percaya diri bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak ada tanggapan apapun dari berbagai pihak, khususnya orang-orang seumurannya. Mereka yang meng-upload foto-fotonya dengan gaya tolak pinggul, membentuk kaki menjadi huruf ‘K’, jari pertanda isyarat untuk diam diletakkan di depan mulut atau membentuk lingkaran di ujung bibir, menulis dengan tulisan tanda baca dan angka-angka menjadi satu. Tentunya lebih rajin untuk membuat kreasi yang baru. Mereka biasanya berkulit kusam, tidak bergairah, berpakaian dengan warna mencolok dan tidak cocok, style rambut berwarna yang tidak sepadan dengan warna kulit dan lain sebagainya. Entah mengapa walaupun mereka sudah menggunakan BlackBerry SmartPhone, tetap saja mereka disebut “Anak Alay” oleh “Anak Gaul”, alasannya? Katanya mereka terlalu sering update personal message, display picture dan broadcast message di Blackberry Messenger, broadcast tentang hantu yang akan menggentayangi, bencana yang akan melanda, simbol yang akan aktif sendiri, promosi pin BlackBerry dengan jaminan tidak akan menyesal sampai tentang RIM sedang rusak di Kanada. Mereka menggunakan autotext yang sulit dibaca. Terkadang mereka sembari curhat di personal message-nya, seakan-akan sedang membutuhkan perhatian yang ekstra dari orang lain. Maka dari itu jika “Anak Gaul” mempunyai ciri-ciri kontak “Anak Alay” di BlackBerry Messenger-nya, langsung mereka delete contact. Dengan alasan risih atau tidak ingin disebut rekanan “Anak Alay” itu sendiri. Kaum ini memang kebanyakan selalu ditindas secara tidak langsung, seperti sindiran yang diutarakan oleh pihak-pihak yang tidak menyukai mereka.
Menginjak usia remaja memang masa-masa labil untuk memahami suatu keadaan. Mereka bertindak berdasarkan emosinya masing-masing. Apa yang mereka lakukan, itulah yang mereka anggap benar. Apalagi jika mereka sudah berada di suatu komunitasnya. Tak jarang jika perubahan sikap itu muncul secara perlahan.
Namun apa salahnya jika kita menghargai sebuah perbedaan. Karena tak semua orang itu sama, baik fisik, mental, sikap, kebiasaan dan keadaan hidupnya. Toh kita sama-sama berada di satu negara, Indonesia yang kaya akan budaya serta adat istiadatnya. Kita mempunyai tujuan yang sama di negara ini. Mengapa kita harus saling menjatuhkan satu sama lain, menjelek-jelekan apa yang orang lain lakukan berdasarkan kelabilan diri sendiri. Men-judge yang tidak baik tanpa alasan yang logis. Jika hanya mereka berbeda tingkat, sepertinya itu bukan pemikiran yang dewasa.
Hal ini perlu dipelajari lebih dalam lagi oleh seorang anak yang tumbuh remaja dan dewasa, alangkah pentingnya hidup kita untuk saling mensyukuri sebuah perbedaan. Toh Tuhan menciptakan manusia tak selalu sama. Apalah artinya sedari tingkat Sekolah Dasar kita mempelajari ilmu pendidikan yang mengajarkan tentang kewarganegaraan, jika pada kelanjutannya kita malah berperang dingin pada sesuatu yang sangat sepele. Padahal kita sama-sama warga negara Indonesia. Kita sama-sama menghormati bendera kebangsaan kita, Merah Putih Sang Pusaka. Mempunyai Kartu Tanda Penduduk yang sama, sejarah kemerdekaan yang sama, pahlawan yang sama dan pemerintahan yang sama.
Semakin canggihnya remaja sekarang, semakin menurun moralitas rakyat muda di Indonesia. Bhineka Tunggal Ika bak semboyan formalitas saja yang terpampang di kaki Burung Garuda. Padahal semboyan itu ada di topi saat kita mengenakan seragam merah putih. Guru-guru kita mengajarkan untuk berbaik hati satu-sama lain tanpa pandang bulu. Mungkin dulu kita memang mengerti, namun sekarang kenyataannya pelajaran itu mungkin sama sekali tidak menancap baik pada benih-benih penerus bangsa. Apakah remaja yang seperti itu harus disekolahkan di Sekolah Dasar lagi untuk dibimbing bagaimana cara untuk menghargai sebuah perbedaan?
Mengapa pada rapor sekolah kita, pelajaran pendidikan agama selalu pada nomor pertama dan pendidikan kewarganegaraan berada di nomor kedua? Itu karena agama selalu membimbing kita sampai wafat, sampai menyatu dengan tanah dan dimakan binatang tanah dan kembali ke asal. Agama penting untuk membawa diri kemanapun kita melangkah. Di Pancasila pun ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ menjadi sila pertama. Agar warga Indonesia menyadari bahwa agama yang dianut sebagai kepercayaan adalah pedoman penting. Agama mengajarkan kita untuk berbuat baik, tidak saling membicarakan ataupun menghujat kaumnya sendiri bahkan orang lain yang bukan kaumnya, tidak boleh bertidak kasar kepada siapapun dan menghargai perbedaan keyakinan masing-masing orang. Agama tidak mengajari agama A untuk tidak berteman dengan agama B. Karena di Indonesia penganut agamanya berbeda-beda, maka kita diajarkan tentang kewarganegaraan sebagai pendamping agama. Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Apa fungsinya pelajaran ini jika perbedaan tidak dapat kita hargai. Apa gunanya kita masuk di Sekolah Dasar jika di tingkat selanjutnya kita malah saling bermusuhan. Jangan sia-siakan guru yang letih mengajarkan hal ini untuk kita sewaktu kecil. Jangan sia-siakan buku yang telah dibeli dengan contoh gambar yang saling memberi dan menghargai. Sikap toleransi juga diselipkan saat kita belajar hal yang lain. Ini membuktikan bahwa dalam segala hal kita selalu berada dalam semboyan kita. Tak ada manusia yang sempurna, memang. Tapi tidak ada salahnya kalau kita sudah mengerti apa itu kebaikan, maka lakukanlah.
Tidak akan ada “Anak Gaul” jika tidak ada “Anak Alay”. Hidup itu saling bergantung satu sama lain. Mengapa betapa tidak bersyukurnya orang-orang kaya yang sangat mentereng dapat disebut sebagai orang kaya oleh orang yang kekurangan. Mereka hidup tanpa batas di atas orang-orang yang hidupnya selalu terbatas.
Pikirkanlah, indahnya hidup ini jika saling berbagi dalam perbedaan. Melestarikan budaya, adat istiadat dan menerapkan semboyan negara Indonesia. Selabil apapun usia kita, tentu kita mengerti mana yang baik mana yang buruk, mana yang membutuhkan dan mana yang tidak membutuhkan, mana yang harus dipentingkan dan yang tidak.
Lalu kenapa masih saja ada yang berbuat seenaknya sendiri? Hidup dengan kebiasaan selalu mendapatkan apa yang diinginkan membuat hati ini selalu tidak merasa puas. Walaupun kata orang manusia itu memang tak ada puasnya. Hanya saja hal-hal seperti itu dapat diminimalisasikan dengan belajar sederhana dan mengetahui apa yang diperlukan orang yang kesusahan.
Kebanyakan munculnya “Anak Alay” itu berasal dari kalangan bawah, sebenarnya tidak ada yang salah dengan apa yang mereka lakukan. Hanya saja pengetahuan mereka yang kurang membuat mereka berkesan tidak tahu apa-apa tentang style, gadget trendy dan social network yang sedang marak. Itu karena mereka hidup dalam keterbatasan, baik dari biaya maupun pergaulan sekitarnya. Mengapa tidak dibiarkan saja mereka berkreasi dengan dunianya? Toh yang salah adalah orang yang menghujat mereka sebagai “Anak Kampungan”. Karena agama dan pendidikan kewarganegaraan tidak ada yang melarang seseorang untuk tidak boleh menggunakan tulisan yang sulit dimengerti itu.
Yang paling salah lagi adalah mereka yang entah “Anak Alay” atau “Anak Gaul” berperang di jalan raya, menggunakan seragam sekolah, mengganggu orang tidak bersalah dan membawa senjata tajam. Bagaimana tidak menusuk hati seorang guru? Susah payah mengajarkan tentang kehidupan bermasyarakat, namun hasilnya mereka adu hantam dengan tampak sok jagoan. Bertempur tanpa alasan yang jelas dan sulit dipahami untuk orang yang mengerti akan arti sebuah perbedaan. Ini hal yang sangat memalukan, membela komunitasnya dengan emosi yang sembarangan. Kejadian ini bukan lagi sesuatu yang asing, bahkan sudah menjadi budaya anak sekolah. Masalahnya sepele, bisa karena rebutan pasangan, karena ejekan yang berbeda sekolah dan lain sebagainya. Tentu budaya ini menjadi sangat memalukan. Pemakai topi seragam yang bertuliskan Bhineka Tunggal Ika membawa parang karena perbedaan.
Sepertinya tidak ada satu remaja pun yang ingin disebut “Anak Alay”, karena mereka melakukan kesenangannya dengan predikat benar. Mereka semua mengaku “Anak Gaul”, tapi apa bedanya kalau yang dari kampung dan yang dari kota sama-sama tidak menjaga moralitas kalangannya. Mereka sembarangan berbicara tidak sopan, baik secara langsung maupun melalui jejaring sosial. Mengejek yang tidak sekomunitasnya, bahkan ada pula yang menjelek-jelekan orang tuanya.
Memang tidak seluruh remaja seperti itu, namun dilihat dari berbagai macam sisi, mayoritas mereka seperti itu kurang lebihnya.
Lalu, apalah pentingnya julukan “Anak Gaul” dan “Anak Alay”. Itu hanya bahasa sebutan saja. Tidak untuk dibesar-besarkan dan dibeda-bedakan. Karena setiap orang tahu bagaimana baiknya untuk hidupnya sendiri. Tahu apa yang harus dijalani dan dianut. Apa yang harus dilakukannya dan yang tidak. Apa yang harus dikatakannya dan yang tidak. Tak ada haramnya untuk beragumentasi, selama dalam batas yang wajar dan tidak memojokkan pihak yang bersangkutan.
Sebagai bibit penerus bangsa, ada baiknya jika kita merubah pandangan buruk seseorang menjadi baik. Semua orang itu baik, tentunya, hanya saja mereka memiliki watak yang berbeda-beda. Karena kita tidak dilahirkan oleh orang tua yang sama. Kita tidak berada di rumah yang sama, keluarga yang sama dan tempat pendidikan yang sama. Tapi kita berada di negara yang sama. Yang mempunyai aturan untuk warganya sendiri, memiliki undang-undang yang sama, yang kita miliki untuk belajar di sekolah maupun perguruan tinggi.
Jangan jadikan perbedaan itu mencolok antara satu sama lain. Buatlah negara ini kaya dan maju dengan perbedaan yang menarik. Kita sama-sama ingin maju, maka bekerja sama akan menjadi jalan yang baik untuk memperbaiki semboyan Bhineka Tunggal Ika. Jika kita memulai dari sekarang untuk merubah penglihatan demi kebaikan, maka perbadaan akan tetap menjadi satu. Moralitas akan terjaga dan budaya timur akan tumbuh di tempatnya sendiri dengan ciri khasnya sendiri. Bukan mengikuti budaya asing.
Yang sudah menjadi kebiasaan, biarkan itu sebagai pelajaran yang berharga. Yang kaya, yang miskin tentu dapat diperbaiki. Yang “Anak Gaul” dan yang “Anak Alay” pada akhirnya pun ingin menjadi orang yang sukses. Ingin membaggakan orang di sekitarnya dan negara Indonesia pula. Dan itulah maksud dari Bhineka Tunggal Ika.
Menghargai perbedaan untuk kesan diri sendiri, jika mulanya dari diri sendiri, maka orang lain akan menyadari bahwa menghargai itu indah. Mensyukuri apa adanya dan tidak muluk-muluk. Tidak menyulitkan siapapun, apalagi orang tua. Karena apa saja yang kita lakukan tentu akan berbalik kepada diri sendiri. Menguntungkan orang lain juga akan menguntungkan diri sendiri. Bertutur kata yang baik akan membuat orang menghargai kita pula. Membiasakan kehidupan yang baik membuat Tuhan memperbaiki kehidupan kita juga.
Menjaga diri, jangan sampai orang lain berpendapat buruk tetang kita. Jangan pedulikan yang memberi cap “Anak Gaul” atau “Anak Alay”, itu semua tergantung oleh diri kita masing-masing. Marilah kita memulai sesuatu yang bermanfaat untuk menjadikan Indonesia yang sejahtera dan kaya akan keramahannya. Perbedaan kehidupan bukan hal yang penting untuk dijadikan ukuran oleh seorang anak remaja. Kita disekolahkan untuk mengenal kehidupan satu sama lain dan membantu yang kesulitan. Bukan melumpuhkan teman seperjuangan.
Ulurkan tangan, jangan lihat kekurangan yang ia miliki. Tuhan Maha Adil, sungguh Ia tidak akan menciptakan seseorang dengan segala kekurangan. Ia pun tidak menuliskan perbedaan tentang “Anak Gaul” dan “Anak Alay” di kitab-Nya. Semua orang tahu akan itu. Semua remaja yang beragama dan mempelajari kewarganegaraan juga mengetahuinya. Jangan salahkan perbedaan. Apapun bedanya, semua adalah anugerah yang harus kita imbangkan dalam kehidupan. Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan selamanya.


21 Juli 2012
Zidnie Ilma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar